Katekisasi
dalam Alkitab dan sejarah katekisasi Oleh: Ev. Otniol H. Seba
Dewasa ini tidak banyak jemaat Kristen yang
mengenal dan mengetahui dengan pasti apa itu katekisasi? Setidaknya
ketidaktahuan dan kurangnya pengenalan jemaat terhadap katekisasi, nampak dari
beberapa jawaban yang mereka ungkapkan, misalnya: ”katekisasi adalah syarat
untuk memperoleh surat dibaptis atau disidi”; ”syarat sebelum menikah sudah
harus katekisasi”; katekisasi adalah pengajaran tradisi yang diharuskan di
dalam gereja (maksudnya gereja-gereja Injili)(01), lebih dari itu ada jemaat
(bahkan majelis gereja) yang tidak mengerti apa itu katekisasi.
Hal ini secara tidak langsung berdampak pada 2 segi, yaitu: pertama, kualitas
rohani dari jemaat yang bersangkutan. Maksudnya bahwa katekisasi tidak lebih
hanya menjadi sarana untuk mendapatkan ”legalisasi” (atau surat-surat yang
berkaitan dengan kepentingan jemaat) dari gereja. Masalah kerohanian tidak
diutamakan. Apalagi dengan waktu yang singkat, hadir atau tidak hadir, jemaat
tetap disidi atau dibaptis. Untuk jangka yang panjang sudah dapat dipastikan
bahwa jemaat-jemaat akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang
menyesatkan. Kedua, kualitas pelayanan itu sendiri. Maksudnya jemaat yang telah
mengikuti katekisasi tidak melayani. Hal ini disebabkan oleh konsep bahwa
katekisasi adalah pra-syarat untuk menikah dan hanya sekadar untuk mendapatkan
surat baptis atau sidi yang dapat digunakan untuk kepentingannya. Akibatnya
adalah: (1) kesulitan mencari generasi untuk melayani di gereja; (2)
kemungkinan bahwa gereja dilayani oleh orang-orang yang ”tidak siap secara
rohani.” Jika ini terjadi, maka lambat laun gereja akan mengalami
”pengeroposan” baik secara rohani maupun di dalam pelayanannya.
Oleh karena itu gereja perlu memberikan pemahaman yang jelas kepada jemaat
tentang mengapa katekisasi itu perlu dilakukan? Juga memberikan dorongan kepada
jemaat untuk mengikuti kelas katekisasi.
MEMAHAMI PENTINGNYA KATEKISASI
Seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan bergereja mengalami tantangan yang
besar. Tantangan itu datang dari dalam dan dari luar gereja. Salah satu
tantangan dari dalam gereja adalah kurangnya minat dari jemaat terhadap
pengajaran Alkitab (doktrin-doktrin Alkitabiah yang dapat
dipertanggungjawabkan). Jemaat lebih menyukai ajaran-ajaran yang bersifat
aplikatif dan berbau ”supranatural.” Ini menyebabkan jemaat tidak punya
kepekaan terhadap berbagai ajaran yang kelihatannya ”baik”, ”dapat diterima
dengan akal (logis)”, dan ”menyentuh kehidupan jemaat”, padahal yang sebetulnya
menuju kepada kesesatan. Ajaran-ajaran tersebut tidak dapat dibedakan dengan
jelas oleh jemaat-jemaat kristen masa kini.
Pada sisi yang lain, gereja diserang oleh ajaran-ajaran yang berasal dari kaum
intelek, yang mengandalkan rasio dan pengetahuan modern sebagai justifikasi
terhadap kebenaran Alkitab. Kritik terhadap kekristenan terus-menerus
dilancarkan. Kebenaran Alkitabiah berusaha diganti dengan kebenaran manusia.
Injil Kristus diganti dengan ajaran-ajaran manusia yang mengandalkan
intelektual semata-mata. Jika gereja tidak memberikan fondasi yang kuat kepada
jemaat tentang kebenaran Alkitabiah yang disertai dengan eksegese dan eksposisi
yang akurat terhadap teks Alkitab, maka dapat dipastikan bahwa jemaat yang
dihasilkan adalah jemaat yang ”rapuh” dan ”keropos” imannya.
Katekisasi(02), adalah salah satu wadah,
di mana gereja mempersiapkan jemaat untuk memiliki pemahaman yang benar tentang
kebenaran Alkitab. Klauber mengutip John Leight sejarahwan reformasi
menuliskan: Katekisasi tidak hanya semata-mata mempersiapkan orang muda untuk
pembaptisan, tapi kepada semua orang percaya, untuk mengajar mereka dasar-dasar
iman Kristen.(03) Di dalam ketekisasi ini, jemaat diperlengkapi dengan
doktrin-doktrin dasar di dalam kekristenan yang dipercayai dan diimani oleh
gereja tersebut. Selain itu katekisasi merupakan wadah untuk mencari
generasi-generasi baru yang dapat diarahkan dan dipersiapkan untuk melayani
Tuhan di dalam pelayanan gerejawi.
Pentingnya pengajaran ketekisasi
oleh gereja kepada jemaat lebih disebabkan karena:
1.
pertama,
gereja harus melaksanakan Amanat agung Yesus Kristus untuk menjadikan
bangsa-bangsa murid-Nya (bnd. Mat. 28:19) proses pengajaran;
2.
kedua,
bahwa gereja harus mengajarkan kebenaran-Nya kepada jemaat, sama seperti Yesus
Kristus yang mengajarkan firman dan kebenaran-Nya (bnd. Yoh. 8:31-32);
3.
ketiga,
gereja harus menuntun jemaat kepada iman dan pengenalan Allah yang benar dan
Yesus Kristus (bnd. Yoh. 17:3 ; Rm. 10:17).
MEMAHAMI
KATEKISASI DI DALAM ALKITAB
Alkitab, baik PL dan PB memberikan latar belakang mengenai pengajaran
katekisasi. Baik itu di dalam tradisi Yahudi yang ketat sebagai-mana yang
tercatat di dalam PL, maupun di dalam kekristenan mula-mula yang berakar kuat
di dalam PB. Hal ini perlu dilihat secara komprehensif di dalam Alkitab,
mengingat kekristenan hari ini sangat berakar kuat di dalam kedua tradisi
tersebut.
A.
Dalam Perjanjian Lama (PL)
Katekisasi berakar kuat dalam sejarah dan tradisi dari bangsa Israel. Hal ini
dapat kita lihat dalam beberapa hal berikut:
1. Orang tua berkewajiban mengajar anak-anaknya “tentang perbuatan-perbuatan
Allah yang besar.” (Ul. 6:20-25; Mzm. 78:1-7, dsb).
2. Sekitar abad-abad pertama telah ada sekolah bagi anak-anak Yahudi, mereka
yang berumur 5-7 tahun telah mendapat pengajaran dari guru-guru torah. Maksud
dan tujuan pengajaran itu adalah supaya anak-anak mendapat pengajaran tentang
torah.
3. Pengetahuan ini terdiri dari pembacaan dan pelafalan torah secara harafiah.
Ada 2 tingkatkan yang dapat kita temukan dalam pengajaran ini. a) tingkat dasar
yang dikenal dengan nama = beth-ha-sefer dan b) tingkat
lanjutan yang dikenal dengan beth-ha-midrasy. Pengajaran semacam
ini terus berlangsung dalam abad-abad pertama di kalangan umat Yahudi.
4. Bahan-bahan pengajaran yang dilakukan oleh guru-guru Yahudi di dalam
sinagoge-sinagoge dibagi di dalam beberapa bagian: pertama, pengakuan iman (syema).
Hal ini tercatat di dalam Ul. 6:4-9, 11, 13-21 dan Bil. 15:37-41; kedua, doa
utama (= syemone Esre), ini dilakukan oleh tiap orang Yahudi, tiga kali
sehari. Doa ini adalah suatu puji-pujian kepada Allah; ketiga, pembacaan torah;
keempat, pengajaran tentang arti dari hari raya-hari raya Yahudi. (04)
B.
Dalam Perjanjian Baru (PB)
Jemaat purba (orang-orang Kristen zaman purba) mengadopsi jenis pengajaran ini untuk
menunjang pelayanan mereka. Mereka menggunakan beberapa istilah untuk
menunjukkan hal ini.
1. Katekhein = memberitakan, memberitahukan, mengajar dan memberi pengajaran
(Luk. 1:24; Kis. 21:21, 24; Rm.2:17-18)
2. Didaskhein = menyampaikan pengetahuan dengan maksud su-paya orang yang
diajar itu bertindak terampil (Mat. 4:23; 26:25; 1Tim. 4:11, dst).
3. Ginoskein = mengenal atau belajar mengenal. Ini bersifat intelek-tualistis
(Rm. 1:21, 28; Gal. 4:8-9, dst).
4. Manthanein = belajar, maksudnya mengindikasikan suatu proses rohani, di mana
seseorang mencapai sesuatu bagi dirinya untuk perkembangan kepribadiannya (Ibr.
5:7-8; Ef. 4:20-23, dst).
5. Paideuein = memberi bimbingan kepada anak-anak, supaya mereka dalam dunia
orang dewasa dapat menempati tempat mereka (1Tim. 3:16-17; Tit. 2:17, dst).
6. Katekisasi di dalam Alkitab PL dan PB memberikan penjelasan secara garis
besar, melalui tradisi Israel dan arti kata-kata yang berhubungan dengan
ketekisasi jemaat. Ini menunjukkan bahwa memang tujuan akhir katekese itu
sendiri berhubungan dengan kerohanian jemaat itu sendiri dan pelayanan gereja
yang nantinya akan dilakukan oleh jemaat tersebut.(05)
MEMAHAMI
SECARA SINGKAT KATEKISASI DI DALAM GEREJA
Katekisasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gereja. Pelayanan
ini menjadi penting oleh karena mengajarkan kebenaran fundamental tentang iman
Kristen. Abineno mengungkapkan bahwa: katekese bukanlah hanya pelayanan
sampingan saja dari gereja: sama seperti pelayanan-pelayanan gerejawi yang
lain, demikian pula katekese adalah pelayanan pokok adalah fungsi dasariah dari
gereja.(06)
Di dalam perkembangan sejarahnya, katekisasi mengalami perkembangan bersamaan
dengan gereja. Di mana gereja berdiri, pelayanan katekisasi juga dilakukan. Ada
dugaan dari beberapa pakar sejarah bahwa ketekisasi menjadi permulaan dari
berdirinya gereja. Hal ini menunjuk kepada peristiwa di dalam Kis. 2:42a:
“mereka bertekun dalam pengajaran para rasul.” Terlepas dari pernyataan ini
diterima atau tidak, namun satu hal yang pasti bahwa katekisasi dan gereja
tumbuh dan berkembang hampir bersamaan.
Di dalam gereja mula-mula, pelayanan katekisasi ini telah dilakukan. Hal ini
nampak terlihat di dalam tulisan Klemens
(sekitar 140 AD). Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Klemens
menyebutkan bahwa katekese sebagai permintaan jemaat. Pengajaran ini bertujuan
untuk mengajak orang supaya mengenal Kristus dan menyucikan mereka dari segala
berhala. Tertullianus (sekitar 200 AD)
menegaskan bahwa sebelum orang-orang mengalami baptisan, mereka terlebih dahulu
harus menerima pengajaran. Constitutiones
Apostolocae sudah menetapkan pendidikan selama tiga tahun untuk setiap
orang yang ingin dibaptis. Augustinus,
seorang bapa gereja barat telah menerima pengajaran sebelum baptisan selama dua
tahun pada usia 31 tahun, sebelum ia diterima menjadi anggota jemaat dan
dibaptis tahun 387 AD.(07) Pelayanan katekisasi gerejawi semacam ini terus
bertahan selama 500 tahun pertama berdirinya gereja.
Memasuki abad-abad pertengahan, katekisasi mengalami kemerosotan tajam. Hal ini
lebih dikarenakan masuknya berbagai ajaran di dalam gereja yang menekankan
ritualitas dari pada pengajaran. Salah satu contohnya adalah ajaran sakramen pengampunan dosa, yang secara
serius ditekankan oleh gereja. Di sini yang ditekankan adalah ritualnya.
Sementara itu di dalam suatu konsili Forli yang dilakukan pada tahun 791,
menganggap kredo dan Doa Bapa kami
sebagai formula pemberi berkat. Jika ada orang yang mampu mengucapkannya,
maka dianggap sudah cukup. Hal ini secara tidak langsung menggeser kedudukan
pengajaran di dalam gereja Tuhan. Pada masa ini katekisasi hanya berlaku di
dalam keluarga dan melalui khotbah-khotbah yang terbatas. Pada masa ini bukan
saja kemerosotan pengajaran yang terjadi, tetapi jemaat-jemaat tidak mengerti
apa yang mereka ucapkan di dalam ritual-ritual gereja yang serba
membingungkan.(08)
Mengakhiri abad pertengahan, muncul gerakan-gerakan
reformasi yang menurut Gereja Katolik-Roma, sebagai gerakan kemurtadan, yang
memperjuangkan kembali pengajaran di dalam gereja. Mereka tidak mau tertipu
oleh gereja yang hanya melaksanakan ritual semata-mata. Mereka berusaha untuk
menyusun buku-buku yang dapat menjadi pedoman untuk pengajaran bagi jemaat.
Katakan saja John Wycliffe dan John Huss. John Wycliffe hidup di Inggris sekitar
tahun 1384 menulis bukunya Pauper Rusticus dalam bahasa Inggris. Isinya
mengenai iman, titah, dan doa, dengan penjelasan panjang lebar tentang
kehidupan yang berdasarkan iman dan pergumulan iman. Selanjutnya John Huss
sekitar tahun 1415, menulis buku penjelasan mengenai Apostolik, Doa Bapa Kami
dan Dasa Titah, agar para muridnya tahu bagaimana mengajarkan iman Kristiani
kepada rakyat.
Pembaruan yang dilakukan pada masa reformasi telah membawa perubahan yang besar
terhadap perkembangan katekisasi. Katekisasi tidak hanya bersifat hafalan,
seperti dasa titah, doa dan sakramen sebagaimana yang dilakukan oleh ”gereja
lama” (= zaman Katolik-Roma), melainkan juga ringkasan ajaran Kitab Suci yang
sangat baik dan berguna yang kemudian diajarkan kepada jemaat-jemaat Kristen.
Masa Reformasi telah melahirkan berbagai macam katekismus pengajaran yang
berakar kuat kepada firman Tuhan. Martin Luther pada tahun 1529 menuliskan
Katekismus Besar dan Katekismus Kecil sebagai panduan untuk pengajaran kepada
para pengikutnya. Di dalam buku ini, ia menguraikan prinsip-prinsip penting
ajaran reformasi yang berakar kuat kepada kebenaran Alkitab: Sola Scriptura,
Sola Fide dan Sola Gratia.(09) Johanes Calvin, merupakan tokoh reformasi yang
sangat disegani dan telah mewariskan pengajaran yang dalam sekali tentang
Alkitab. Oleh pengikutnya, namanya menjadi rujukan dari seluruh ajarannya:
”Calvinis.” Pada tahun 1536, ia menuliskan suatu buku ”De Institutionae
Christi” yang merupakan bahan pelajaran yang digunakan di dalam katekisasi. Calvin
kemudian mengarang sebuah ”Katekismus” pada tahun 1541 yang lazim dikenal
sebagai ”Katekismus Geneva”. Melanchthon juga menuliskan sebuah katekismus yang
sesuai dengan apa yang Martin Luther tuliskan.
Pada tahun berikutnya muncullah beberapa katekismus yang merupakan bahan
pengajaran bagi jemaat-jemaat, di antaranya: Katekismus Heidelberg dan
Katekismus Westminster. Katekismus Heidelberg ditulis oleh Kaspar Olevianus dan
Zakharias Ursinus pada tahun 1562. Katekismus ini sangat terkenal dan menjadi
bahan pelajaran yang disenangi dan diterima oleh jemaat-jemaat pada waktu itu.
Kedua katekismus merupakan kristalisasi dari pengajaran iman kristen di dalam
tradisi Calvinisme.
Memasuki masa abad ke-18, pengajaran
katekisasi mengalami kemorosotan tajam. Hal ini karena ada pengaruh
filsafat rasionalisme sekuler yang mulai merasuki gereja. Filsafat ini mempertentangkan antara iman dari akal dan memisahkan
antara iman dan akal. Argumentasi-argumentasi yang dibangun dan dilontarkan
kepada pihak gereja justru melemahkan kaum rohaniawan yang ada. Pikiran yang
skeptis terhadap pengajaran Alkitab (cenderung menolak kebenaran) membawa
dampak yang cukup besar bagi kerohanian jemaat Kristen, di mana mereka mulai
mengingkari akan kebenaran sebagaimana yang diyakini semula. Rasionalisme
semacam ini pada akhirnya mengantarkan jemaat yang ”tereliminasi” dan
”terkontaminasi” karena pengaruhnya ke jurang humanisme yang akhirnya bermuara
kepada sikap ateis (lebih tepatnya disebut sebagai Ateis praktis hidup
seakan-akan Allah tidak ada).
Pengaruh dari gerakan ini sangat terasa
hingga hari ini. Di satu sisi gereja kurang menekankan pelayanan pengajaran
katekisasi ini bagi jemaat. Sementara di sisi yang lain, ada upaya yang telah
dilakukan oleh orang-orang dan kelompok tertentu untuk menggantikan
kebenaran-kebenaran Alkitab dengan dongeng-dongeng yang diciptakan, baik
melalui media cetak, seperti buku-buku ataupun melalui film-film. Salah satu
contohnya adalah (yang sedang hangat dibicarakan) “The Da Vinci Code.” Hal
ini menjadi ”PR” bagi gereja untuk diselesaikan.
Menjawab
5 pertanyaan tentang Katekisasi sidhi
1.
What (apa) itu sidi?
Sejak anak-anak sudah ada baptisan kudus yang dilakukan, mereka sudah dipanggil
ikut masuk dalam persekutuan Kristen mewarisi kehidupan kekal. Selanjutnya
menjadi tanggungjawab orang tua untuk mengajarkan firman Tuhan bagi putra-putri
mereka, namun kenyataannya tidak sedikit orang tua yang lupa akan tugas dan
tanggungjawabnya. Gereja sebagai institusi yang memiliki peranan penting
terpanggil melakukan pembelajaran agar anak dipersiapkan secara dewasa baik
jasmani dan dewasa iman. Ketika akan mengakhiri pelajaran itu, Pendetalah yang
mengevaluasi hasil belajar mereka di hadapan pelayanan tahbisan dan orang
tuanya masing-masing.. Mereka mengaku imannya di hadapan jemaat pada kebaktian
Minggu sesuai dengan tatacara yang tertulis dalam gereja masing-masing.
Mengakui Tuhan yang Maha Kuasa, pencipta, pemelihara, dan penguasa atas segala
sesuatu. Yesus Kristus penyelamaat dan Roh Kudus adalah yang menguduskan hati
manusia untuk percaya kepada karya keselamatan Kristus. Agar mereka mengerti
akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai jemaat Kristus kepada Tuhan dan sesama
manusia, membangun karakter agar mengasihi Tuhan dan sesama sehingga hidup
mereka menjadi persembahan ibadah yang murni dan sejati bagi Tuhan, dan lain
sebagainya.
2. Why (mengapa) harus sidi?
Kesempatan baik bagi si Putra-putri Gereja dituntun dan dibina untuk
menselaraskan gerak kehidupannya kepada Tuhan yang memberi berkat baginya. Maka
pembelajaran sidi adalah moment yang pas dalam mengawali pentingnya mengajarkan
dan menanamkan pengenalan Tuhan melalui karya-karyaNya, mengajarkan ajaran john
Wesley, khatehismus karangan Marthin Luther yang terdiri dari : Hukum Taurat,
kesaksian iman orang Kristen, Doa Bapa kami, Baptisan Kudus, perjamuan Kudus,
doa berisi ringkas, padat dan jelas, mengajarkan sejarah Gereja dan
perkembangan-perkembangan masa kini, belajar buku ende dan bahkan pengetahuan
umum skop yang lebih luas. Sebaiknya orangtua dan anak dapat saling menopang
agar dapat mengikuti pembelajaran sidi itu selama satu tahun. Artinya kurikulum
yang sudah dipersiapkan harus diikuti agar suatu saat menjadi jemaat yang
matang. Pengalaman penulis di berbagai gereja mulai gereja yang berada di desa
dan gereja yang berada kota hampir sama, usul-usul orang tua yang berkembang
agar anaknya dapat menerima peneguhan sidi tanpa menerima pembelajaran Sidi
karena merekapun katanya menerima pendidikan Agama di sekolah mereka, melalui
tulisan ini saya tegaskan tidak bisa disamakan bahan ajar di sekolah dengan
pembelajaran Katekisasi sidi mungkin ada muatannya yang sama tetapi ada banyak
ketidaksamaannya yang tidak diajarkan di sekolah mereka.
3. When (kapan) mengikuti pembelajaran sidi?
Di dalam gereja Methodist bahwa yang
telah berusia 15 tahun ke atas dapat mengikuti pembelajaran sidi dan lamanya
katekiasasi sidi antara 3-6 bulan (disesuaikan dengan bahan) atau biasa
dirumuskan 15 - 30 pertemuan dan sekali pertemuan lamanya kurang lebih 60
menit. Penulis pernah mengadakan katekisasi khusus bagi mereka yang sudah
bekerja dan katekiasasi kilat bagi mereka yang akan segera meried dan mereka
akan menerima pembelajaran khusus karena satu hal dan lain hal.
4. Where (dimana) menerima pembelajaran sidi?
Pada saat memasuki usia 15-20 tahun sebaiknya di gereja asalnya segera
mengikuti katekisasi sidi tetapi kalau sudah meninggalkan kampung halamannya
mungkin karena alasan kuliah dan alasan tapi belum menerima sidi sebaiknya di
mana gereja yang paling dekat menerima bahan ajar setelah diterimalah surat
keterangan dari Pendeta Resort atau pimpinan jemaatnya! Agar mereka dapat
menerima pembelajaran sidi di gereja yang terdekat. Alasannya kenapa harus
seperti itu karena itu kesempatan baginya memperdalam firman Tuhan melalui bahan
ajar katekisasi sidi. Tetapi ada juga budaya rasa malu kalau usianya sudah di
atas 25 tahun sudah mulai enggan mengikutinya, temuan yang terjadi dalam
pelayanan pada saat mau menikah, itulah kesempatan baginya, bisa saja itu
karena terpaksa dia harus mengikuti! Karena syarat mau menikah di gereja
Protestant harus lebih dahulu sidi. Kadang-kadang keadaan ini memprihatinkan,
sebaiknya harus dipersiapkan dirinya menjadi jemaat yang taat akan aturan yang
berlaku di gerejanya.
5. Who (Siapa) yang akan disidikan?
Pertanyaan ini agak pelik untuk dijawab karena belum semua warga jemaat
memahami secara bersama orang yang mengikuti pembelajaran sidilah yang pastas
menerima peneguhan sidi. Kadang-kadang temuan yang terjadi sepertinya tidak
dapat ditolerir kebenarannya, bagi penulis menyarankan sebaiknya orang tua
harus satu visi berama majelis dan pelayan full timer, setiap yang menerima
pembelajaran sidilah yang menerima peneguhan sidikan. Maukah kita konsisten
melakukannya? Atau suka-suka kita aja. Bisa itu mengundang masalah baru dan
bahkan sampai meng-kambing-hitamkan yang lain demi kepentinganmu. Imbauan
penulis, dengan jiwa besar setiap yang mengikuti bahan ajar sidi yang layak
menerima peneguhan sidi. Mari kita serius melakukannya.
6. How (Bagaimana) orang yang menerima peneguhan sidi?
Pertama: memiliki komitmen agar menjadi pengikut Kristus yang menunjukkan curi
teladan. Kedua: Siap bertarung mempertarungkan iman percayanya agar hidupnya
tetap dikendalikan firman Tuhan, dan pedoman hidupnya selalu beralaskan firman
Tuhan. Ketiga: tidak mudah diombang ambingkan oleh arus jaman yang cepat
berubah-ubah.
7. Lalu, hubungan sidi dengan prasyarat menikah?
Bagi gereja protestan khususnya Methodist orang yang sudah menerima peneguhan
sidi adalah yang layak memasuki jenjang pernikahan kudus. Adapun alasan yang
pertama: penulis merumuskan mereka sudah dikategorikan dapat bertumbuh secara
jasmani dan bertumbuh secara spritual sesuai dengan iman percayanya. Kedua:
pembinaan selama pembelajaran sidi membentuk pola berpikir semakin kritis
membaca tanda-tanda jaman. Ketiga: menunjukkan kesetiaan dalam kehidupannya dan
berpengharapan penuh melalui sola fide (hanya karena iman), sola scriptura
(hanya karena firman Tuhan), sola Gratia (hanya karena anugerah) menjadi baro
meter hidupannya. Jika dibandingka dengan dogma Katolik bahwa syarat menikah
adalah orang yang mengikuti katakumen, persis sama dengan gereja protestan.
MEMAHAMI PERGUMULAN DAN TANTANGAN
KATEKISASI MASA KINI
Di dalam era postmodern ini, umumnya masyarakat, termasuk juga jemaat kristen
tidak lagi menyukai hal-hal yang bersifat pengajaran doktrinal/alkitabiah.
Mereka lebih menyukai pengajaran-pengajaran praktis dan berbau supranatural.
Situasi dan kondisi zaman ini telah merubah paradigma kekristenan (Kebenaran merupakan
suatu pewahyuan dan diberikan kepada gereja) dengan paradigma baru yang
bersifat relatif (kebenaran bergantung kepada setiap pribadi dan kelompok
masyarakat). Katekisasi dalam gereja hanya merupakan pra-syarat untuk
mendapatkan surat legal (surat baptisan atau sidi) untuk kepentingan pribadi
dan bukan bertujuan untuk mempersiapkan dan membimbing generasi muda untuk
melayani di dalam gereja.(10)
Sebagai sebuah refleksi: Umumnya dalam setahun gereja-gereja Kristen membuka 2
kali kelas katekisasi.(11) Berapa banyak jemaat yang setiap tahun ikut
katekisasi (baik baptisan atau sidi) yang aktif bergereja? Berapa banyak jemaat
setelah mengikuti kelas katekisasi, berkomitmen untuk mengikuti
pembinaan-pembinaan yang diadakan di gereja? Berapa banyak jemaat setelah
mengikuti kelas katekisasi berkomitmen untuk melayani Tuhan? Jikalau semuanya
ini berjalan dengan baik, maka: pertama, gereja tidak akan mengalami ”krisis”
untuk mencari generasi muda dalam melanjutkan estafet pelayanan gerejawi;
kedua, kerohanian jemaat tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai
”angin” pengajaran yang menyimpang dari Alkitab. Namun faktanya tidaklah
demikian.
Pada masa kini gereja mengalami ujian berat untuk dapat mempertahankan jemaat
dengan pengajaran yang murni dan alkitabiah ataukah membiarkan jemaat ”ikut
arus” dunia ini dengan segala pengajarannya yang menuju kepada pemuasan hati
dan pelampiasan emosi sesaat yang ditampilkan dengan berbagai model gaya hidup
yang pada akhirnya membuat mereka kehilangan iman dan pengharapannya. Para
rohaniawan ditantang untuk ikut berlomba ”menyelamatkan”(12) (membawa kembali)
jemaat-jemaat yang terhilang akibat pengaruh ”arus” zaman ini. Mereka harus
dibawa kembali kepada Yesus Kristus sang pemilik jiwanya. Inilah tugas yang
dipercayakan oleh Dia, Yesus Kristus kepada para hamba-hamba-Nya.
Gereja harus dapat mengajarkan kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen secara
tepat dan benar kepada jemaat. Gereja dapat menggunakan berbagai metode dan
bahasa yang lebih sederhana untuk mengajar jemaat dengan benar, tanpa merubah
isi pengajaran doktrinalnya. Tujuan akhir daripada pengajaran ini adalah
memahami iman kristen secara benar.
KESIMPULAN
Gereja yang sehat dan dinamis adalah gereja yang memperhatikan aspek
pengajarannya. Hal ini tidak berarti membiarkan pelayanan yang lain (maksudnya
adalah keseimbangan pelayanan-pelayanan yang lain dengan pelayanan pengajaran).
Pengajaran Alkitab yang benar menjadi fondasi yang kuat bagi pelayanan gereja
dan pertumbuhan kerohanian jemaat. Jemaat harus di dorong untuk mengikuti
kelas-kelas katekisasi dan pembinaan-pembinaan lainnya. Jemaat yang terlibat
pelayanan harus mengerti dasar-dasar kehidupan iman yang benar melalui
pengajaran katekisasi atau kelas-kelas pembinaan, tujuannya agar (1)
pelayanannya murni hanya kepada Tuhan (dengan kata lain tidak ikut-ikutan); (2)
ia bertumbuh di dalam iman; (3) ia tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai
pengajaran duniawi yang menyesatkan; (4) mampu memberi jawaban bagi mereka yang
meminta pertanggungan jawab imannya sesuai dengan kebenaran di dalam Kristus.
James Montgomory Boice menuliskan: tidak peduli seberapa dahsyat pengalaman
kita, tidak peduli seberapa dalam kita paham tentang Allah, yang pasti adalah
kita tidak dapat memahami apa yang Allah telah katakan, kecuali melalui wahyu
yang didasarkan kepada Alkitab.(13) Biarlah kebenaran ini menjadi pendorong
semangat bagi setiap hamba-hamba-Nya yang terpanggil untuk melayani Dia, Sang
Kepala Gereja, Tuhan Yesus Kristus. •
Footnotes
01/ Gereja-gereja yang melakukan pelayanan katekisasi adalah gereja-gereja yang
tergabung di dalam arus utama tradisi Protestan, seperti dari aliran Lutheran
dan Calvinis / gereja Reformasi. Sedangkan gereja-gereja aliran baru, seperti
gerakan Pentakosta dan Karismatik tidak mengenal katekisasi.
02/ Definisi katekisasi dirumuskan sebagai berikut: A Catechisms is a popular
manual of instruction (Gr. Katecheo, to instruct) in Christian beliefs,
normally in question and answer form. Dikutip dari: Walter A. Elwell, (Edit.),
Evangelical Dictionary of Theology. Second edition, Michigan: Baker Academics,
2001. p. 211.
03/ Martin I Klauber, Confessions, Creeds, and Catechisms in Swiss Reformed
Theology (1675-1734), In Westminster Theological Journal, Vol. 57:2
(Fall:1995), p. 403. to quote John Leight, writes: It [catechism] was not
initially used solely for the young person preparing for confirmation, but for
all believers in order to teach them the basics of the Christian faith.
04/ DR. J.L. CH. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2001), hal. 1-4.
05/ Abineno, Sekitar katekese, hal. 22, menjelaskan demikian: Dari uraian di
atas, nyata bahwa yang paling penting dalam katekese ini ialah: membimbing
anggota-anggota jemaat khususnya anggota-anggota jemaat yang masih muda ke
dalam perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Allah, seperti yang kita baca
dalam PL dan PB. Maksudnya ialah supaya mereka belajar untuk hidup bersama-sama
dengan Allah ini di bawah pimpinan Roh Kudus dan di dalam persekutuan Yesus
Kristus, Anak-Nya. Dengan jalan demikian mereka sebagai anggota-anggota dari
Gereja Tuhan dipersiapkan (=diperlengkapi) untuk tugas kesaksian dan pelayanan
mereka di dalam dunia.
06/ Ibid, hal. 85.
07/ G. Riemer, Pedoman Ilmu katekese: Ajarlah Mereka, (Jakarta: Yayasan Bina
Kasih / OMF, 1998), 43-44.
08/ Ibid, hal. 53-55.
09/ Sola Scriptura berarti hanya Alkitablah satu-satunya sumber pengajaran
moral; Sola Fide berarti hanya oleh imanlah manusia dapat diselamatkan; Sola
Gratia berarti hanya oleh anugerah Tuhanlah manusia dimungkinkan untuk selamat.
10/ Arguably, many churches have failed to do a creditable job of educating
their children, young people and adults in basic Christianity. Hand in hand
with the study of scripture, a catechism may prove, once again, to be an effective
instrument for passing on “the faith that was once for all entrusted to the
saints (Jude1:3). Dikutip dari The New Presbyterian Catechism, p. 1.
11/ Dalam gereja tertentu kelas katekisasi dibuka 1 kali selama 1 tahun proses
katekisasi berlangsung.
12/ Istilah “menyelamatkan” tidak dimaksudkan sebagai proses keselamatan dari
yang tidak percaya (=masih hidup dalam dosa / belum bertobat) menjadi percaya
kepada Yesus Kristus. Penulis percaya bahwa proses keselamatan itu dikerjakan
oleh Allah, melalui Roh Kudus (Bnd. Ef. 2:8-9). Yang dimaksudkan
“menyelamatkan” adalah membimbing kembali jemaat kepada pengajaran yang benar
di dalam Kristus.
13/ Rev. Bryn McPhill, The Reformed Theology Source, Version 4.0. Edifying
Quotations, p. 3292. http://www.reformedtheology.ca.